Dua Orang Terkasih Kontributor: --- Annida - Jakarta, Fera Adhim (Bali) 1990 Pada suatu pagi Aku sedang asyik main ayunan ketika tiba-tiba saja Bu Guru Nia memanggilku. Aku segera datang menghampirinya. Bu guru yang cantik itu berjongkok dan menatapku sambil tersenyum. “Waaah.., Dinda cantik sekali hari ini. Bajunya baru ya?” Aku tersenyum bangga. Bajuku ini hasil rancangan Papa. Papaku memang hebat. Di ruang kerjanya ada bertumpuk-tumpuk gambar pakaian yang bagus-bagus. Semuanya digambar oleh Papa. “Kapan-kapan boleh nggak Bu Guru pinjam?” Aku berpikir sejenak. “Boleh. Tapi, Bu Guru kan besar. Dan baju Dinda kecil. Kan nggak cukup, Bu Guru?” Bu Guru terkekeh. “Iya, ya. Jadi gimana ya?” “Nanti biar Dinda bilangin Papa supaya membuatkan gambar baju yang bagus buat Bu Guru. Terus, Dinda suruh tukang jahit Papa jahitin.” “Waah, Dinda baik sekali. Terima kasih ya, Sayang.” Aku mengangguk senang. “Dinda, Bu Guru bisa minta tolong nggak?” “Iya, Bu Guru?” “Tolong bilangin ke Mama Dinda, kalau minggu depan giliran Dinda yang bawa kue. Bisa kan?” “Mama?” “Iya. Supaya nggak lupa, biar besok Bu Guru kasih surat aja buat Mama. Nanti Dinda sampaikan ya?” Aku mengangguk pelan. “Ya, sudah. Dinda mau main lagi?” Lagi-lagi aku cuma mengangguk pelan. “Ya sudah, sana main lagi. Hati-hati ya, Sayang,” Bu Guru Nia bangkit, membelai pipiku sejenak, lalu meninggalkanku sendiri. Tiba-tiba saja aku tidak ingin bermain lagi. Aku bingung sekaligus sedih mendengar kata-kata Bu Nia. Mama? Apakah aku punya Mama? Selama ini di rumah tak ada yang kupanggil dengan sebutan ‘mama’. Aku cuma punya seorang Papa dan seorang perempuan yang kupanggil ‘Emak’. Setiap hari, Emaklah yang mengurusku. Memandikanku, menyuapiku makan, dan menemaniku tidur. Emak juga yang mengantar dan menjemputku ke sekolah. “Dinda…Dinda, ayo kita main lagi,” seseorang menarik-narik tanganku. Aku menoleh. Ternyata Lia, temanku yang gendut dan lucu. “Nggak ah, Dinda capek,” tolakku sambil duduk di bangku taman. Lia mengikutiku, duduk di sebelahku. “Dinda…Dinda kenapa, sih? Kok sepertinya sedih? Dimarahin Bu Guru ya?” kejar Lia. Aku menggeleng. “Terus kanapa?” Aku memandang Lia dengan sedih. “Lia, Dinda kok nggak punya Mama ya?” Lia tampak heran mendengar pertanyaanku. “Lho, yang biasanya nganterin Dinda itu bukannya mama Dinda?” “Bukan. Itu Emak.” “Wah, pantesan saja…ha…ha…ha…Lia juga udah ngira kalau nggak mungkin itu Mama Dinda. Habis bajunya jelek-jelek. Padahal Dinda selalu pake baju bagus. Orangnya juga jelek. Nggak cantik kayak Dinda. Ooh…kalau gitu itu pasti pembantu Dinda ya?” cerocos Lia? “Bukan! Itu Emak! Bukan pembantu!” seruku tidak terima. “Lagian biar jelek, Dinda sayang kok sama Emak!” Lia menggaruk-garuk kepalanya. “Mama bukan. Pembantu bukan. Terus siapa, dong?” “Emak ya Emak. Dibilangin Dinda nggak punya mama…” “Nggak mungkin. Semua orang pasti punya mama. Mamanya Lia aja punya mama. Lia panggil dia nenek…” Aku cemberut. Kuhentakkan kaki ke tanah. Jengkel. Siangnya di hari yang sama Aku ngambek nggak mau makan. Gara-gara Emak nggak mau cerita padaku soal Mama. Katanya, Dinda kan punya Emak yang sayang pada Dinda? Kenapa harus mencari Mama lagi? Aku membanting piring berisi nasi dan ayam goreng kesukaanku. Emak tampak sedih waktu berkata, “Ya sudah, kalau nggak mau makan. Tapi kan ndak usah pake membanting piring segala. Sayang isinya, Nduk. Kok ndak kasihan sama Emak yang udah capek-capek masak. Tahu gitu kan tadi dikasihkan saja ke pengemis di pinggir jalan.” Aku terdiam sambil memandangi Emak membersihkan pecahan piring dan nasi yang berserakan. Rasanya aku pingin menangis. Ah, kasihan Emak. “Sekarang Dinda bobok dulu ya, Nduk. Nanti kalau Papa pulang, Dinda tanya sama Papa, di mana Mama. Ya?” bujuk Emak sambil membelai lembut rambut hitamku. Aku diam saja. Tapi kuturuti saja kata Emak. Aku bobok di pangkuan Emak. Lalu mimpi bertemu Mama. Ternyata mamaku cantik sekali. Dia mirip denganku. Cuma, karena sudah dewasa, tentu saja badannya jauh lebih besar dan tinggi. Dan giginya tidak ompong seperti gigiku. Dia tersenyum manis sekali, memamerkan deretan giginya yang putih seperti mutiara. Sayang semuanya hanya mimpi. Ketika bangun, tak kutemukan lagi sosok mama. Cuma ada Emak. Emak yang jelek dan hitam. Emak yang telapak tangannya kasar karena sering mencucikan bajunya yang selalu penuh noda. Kutunggu Papa pulang. Aku sudah tak sabar ingin bertanya soal Mama. Kata Emak, waktu aku tidur, Papa pulang sebentar. Tapi kemudian pergi lagi. Papaku memang sibuk. Apalagi kata Emak sebentar lagi Papa mau mengadakan pergelaran busana. Entah apa yang dimaksud pergelaran busana. Aku tidak peduli. Saat ini, yang ingin aku tahu cuma soal Mama. Malam semakin larut. Tapi Papa belum pulang juga. Aku jadi gelisah. Berkali-kali kuintip halaman lewat jendela, berharap melihat mobil Papa masuk. Emak menyuruhku tidur saja. Tapi aku menolak. Akan kutunggu sampai Papa pulang. Jam menunjukkan pukul sebelas. Wajah Papa nongol dari balik pintu kamarku. Aku yang sedang main boneka terloncat girang. Kupeluk Papa yang tampak letih. Papa heran melihatku belum tidur. Tapi aku tak peduli dengan keheranan Papa. Langsung kuberondong Papa dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah kusiapkan. “Papa, Dinda punya mama nggak sih? Kenapa Dinda nggak pernah melihat Mama? Kenapa Mama nggak tinggal di sini bersama kita?” Papa tampak terkejut mendengar pertanyaanku. “Dinda, kok tiba-tiba nanya kayak gitu sih?” “Habis, Dinda iri sama teman-teman. Lia, Dewi, Intan, semuanya punya mama. Kenapa Dinda nggak punya mama, Pa?” rajukku. “Hush…siapa bilang Dinda nggak punya Mama? Punya, sayang. Punya.” Papa mengusap pipiku lembut. “Benar, Pa?” mataku langsung berbinar-binar. Papa mengangguk pelan. Ada sinar kesedihan di matanya yang letih. “Tapi mana, Pa? Kenapa Dinda nggak pernah melihat Mama?” Papa menghela napas. “Karena..karena Mama Dinda sudah dipanggil Tuhan.” “Dipanggil Tuhan?” “Ya. Dipanggil Tuhan.” Aku terdiam berusaha memahami kata-kata Papa. Tapi aku jadi tambah bingung. “Sudah ya. Papa capek nih. Besok saja kita cerita-cerita lagi. Dinda bobok ya?” Papa menggendong dan membaringkanku ke ranjang. Dikecupnya keningku. “Mimpi indah ya, Sayang?” Lama sekali aku baru bisa terlelap. Aku masih memikirkan kata-kata Papa yang tidak kupahami. Aku ingin bertanya lagi, tapi kasihan Papa. Papa pasti capek sekali setelah seharian mencari uang. Ah, biarlah besok akan kutanya lagi. Malam itu aku kembali bermimpi tentang mama. Mamaku yang cantik, dengan senyumnya yang manis. Jemarinya yang halus menggandeng tangan mungilku… Keesokan harinya Kuhampiri Lia yang sedang asyik main perosotan. “Lia, sini deh. Aku ada kabar gembira.” Lia menghentikan permainannya. “Kabar apa sih?” “Eh, ternyata aku punya mama lho,” kataku bangga. “Nah, kan Lia bilang juga apa. Dinda pasti punya mama. Nggak mungkin nggak. Eh…tapi di mana dia?” “Itulah. Dinda juga bingung. Soalnya Papa bilang, Mama Dinda sudah dipanggil Tuhan.” “Dipanggil Tuhan?” “Iya. Dipanggil Tuhan. “Hmmm…berarti Mama Dinda sekarang sedang pergi ke rumah Tuhan ya?” “Iya.” “Terus kembalinya kapan?” “Itulah. Dinda nggak sempat nanya sama Papa.” “Yaa…Dinda gimana sih.” “Habis, Papa Dinda sibuk sih. Tadi aja waktu Dinda bangun, Papa sudah pergi.” Lia tampak berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Eh, kemarin aku denger Bu Guru Nia ngomong sama Bu Guru Ita, kalau mamanya Uci sudah dipanggil Tuhan. Kita tanya Uci yuk. Mungkin mama Dinda sama mama Uci pergi sama-sama. Mungkin Uci tau kapan mamanya pulang.” Aih, aku jadi bersemangat lagi. Kuikuti ajakan Lia untuk bertanya pada Uci. Tapi aku jadi tambah bingung. Kata Uci, mamanya nggak mungkin kembali lagi. Karena orang yang sudah dipanggil Tuhan, nggak akan pernah kembali. Jadi, Tuhan mengambil mama Dinda dan mama Uci untuk selamanya. Tiba-tiba air mataku tumpah. Uh, Tuhan kok jahat sekali? Kenapa Tuhan tega merampas Mama? Apa salah Dinda? Dua hari kemudian Tiap hari, Emak selalu melaksanakan salat lima waktu. Kalau Emak sedang salat, aku sering mengikuti di belakangnya. Tapi aku cuma pakai kerudung kecil yang dibelikan Emak di pasar. Aku belum punya mukena. Tapi sudah dua hari ini aku menolak setiap kali diajak salat. Sebab aku ingat, Emak pernah bilang kalau salat itu menyembah Tuhan. Tuhannya Emak dan Tuhannya Dinda bernama Allah. Kita menyembah Tuhan Allah karena kita sayang padanya. Tapi setelah kutahu Tuhan telah merampas Mama, aku jadi tak punya alasan untuk menyayangi Tuhan. Ternyata Emak mengira aku mogok salat gara-gara Papa belum juga membelikanku mukena. Siang itu, ketika menjemputku di TK, wajah Emak tampak riang. “Emak punya sesuatu buat Dinda,” katanya sambil menunjukkan kresek hitam berisi sesuatu terbungkus koran. “Apa itu, Mak?” “Nanti saja, dibuka di rumah.” Aku tidak membantah lagi. Sejak kutahu Mama tak mungkin kembali, aku berubah jadi pendiam. Aku terus-menerus bertanya dalam hati dan tak habis pikir, mengapa Tuhan begitu jahat padaku. “Nah, ini dia kejutannya,” kata Emak begitu sampai di rumah dan membuka bungkusan itu. Aku melirik mukena mungil itu sekilas. “Buat apa ini, Mak?” tanyaku dengan suara serak. “Buat apa? Ya buat salat dong, Sayang.” “Buat salat? Untuk apa salat?” seruku keras. “Dinda?” Emak mengerutkan kening tanda tak mengerti. “Dinda nggak mau salat! Buat apa! Kata Emak, kita harus sayang sama Tuhan! Dinda sudah berusaha sayang sama Tuhan! Tapi Tuhan malah merampas Mama! Tuhan jahat sama Dinda! Jadi, kenapa Dinda harus baik-baikin Tuhan!” aku terisak-isak. Emak terperanjat. “Dinda…” Emak berusaha meraihku ke dalam pelukannya. Tapi kutepis tangannya. Aku berlari masuk ke kamarku. Kututup erat-erat telingaku dengan bantal. *** 12 Maret 1995 Papa sering mengajak teman-temannya ke rumah. Menurutku mereka aneh-aneh. Ada Om Bagus dan Om Yudi yang sekilas tampak gagah, tapi ketika bicara gayanya seperti perempuan. Kata Papa, Om Bagus dan Om Yudi itu adalah model Papa yang biasanya memperagakan hasil rancangan Papa. Ada Om Tito yang dandanannya anggun kayak tante-tante. Om Tito kerja di salon, dan sering diminta membantu merias model-model Papa. Yang lainnya, ada Tante Heni, Tante Lola, Tante Rosa, dan banyak lagi. Tante-tante itu cantik-cantik semua. Tapi menurutku bedak dan lipstick mereka terlalu tebal. Dan parfumnya wangi sekali, membuatku mual. Kata Papa, kalau jadi model memang harus begitu. Biar terlihat cantik dan segar. Papa memang banyak kenal sama model dan peragawati top, jadi banyak tahu tentang mereka. Kalau Papa dan teman-temannya sedang kumpul-kumpul di rumah kami, aku lebih memilih ngumpet di kamar. Habis, aku risih sama tante-tante itu. Genit-genit dan suka mencubit pipiku. Katanya gemas. Pipiku bulat kayak bakpao. Dan merah kayak tomat. Gemas sih gemas, tapi kan pipiku jadi sakit! Walau lebih sering ngumpet, tapi sesekali aku mengintip mereka dari lubang kunci. Kulihat, kadang-kadang gaya Papa jadi seperti Om Tito. Genit dan kebanci-bancian. Ah, Papa. Kok jadi ikut-ikutan mereka sih? Hari sudah larut malam. Tapi tamu-tamu Papa belum pulang juga. Mereka sedang merayakan keberhasilan pergelaran besar-besaran busana hasil karya Papa yang katanya sukses besar itu. Sudah berjam-jam aku mencoba untuk tidur, tapi suara gelak tawa mereka membuatku sulit memejamkan mata. Aku menengok jam di dinding. Sudah hampir jam dua belas. Tapi tampaknya mereka belum capek juga. Kudengar mereka masih asyik mengobrol, diselingi dengan tawa dan canda. Penasaran, aku berjingkat dan mengintip melalui lubang kunci. Papa sedang duduk di sofa sambil mengisap rokok santai. Di kanan kirinya para model juga tengah bersantai dengan gaya mereka yang khas. “Oh, jadi Dinda itu anak pungut lo ya?” kata seorang laki-laki bergaya banci yang belum kukenal. Aku terkesiap. Kubuka pintu sedikit, agar bisa mendengar lebih jelas pembicaraan mereka. Jantungku mendadak berdebar-debar. “Ya, begitulah. Tapi biar gitu, gue sayang banget lho sama Dinda,” sahut Papa setelah menghembuskan asap rokoknya. “Ya jelas aja sayang. Tu anak kan bisa jadi tambang emas lo,” sergah Tante Heni. Tamu-tamu yang lain tergelak-gelak. “Kapan lo orbitin dia jadi model, Tom?” “Ah, nanti-nantilah. Dinda kan masih kecil.” “Lho, justru harus dilatih dari kecil, Tom. Supaya dia terbiasa.” “Eh, ngomong-ngomong, bulan depan ada kontes peragawati cilik lho. Lo suruh si Dinda ikutan sono. Lo rancangin baju yang bagus, kan sekalian promosi.” “Eh, Tom. Ibunya Dinda sekarang di mana, ya?” “Iya, ya? Denger-denger udah nggak ada kabarnya lagi? Apa dia masih inget pernah membuat Dinda, darah dagingnya sendiri?” “Ah, paling-paling nggak inget ya, Tom? Paling udah kecantol bule kaya. Hidup enak di luar negeri. Kasihan. Padahal denger-denger dia calon dokter ya? Gara-gara accident, jadi berantakan deh semuanya.” “Ah, masa sih calon dokter? Kok bego gitu ya? Mbok ya pake pengaman, jadi nggak kebobolan…” Suara gelak tawa kembali bergema di ruangan yang remang-remang itu. Aku bersandar lemas di balik pintu. Tubuhku merosot perlahan, hingga akhirnya terduduk di lantai. Jadi, aku cuma anak pungut? Jadi, sebenarnya bukan Tuhan yang jahat padaku? Tapi Mama yang memang tidak mengharapkan kehadiranku? Mama, tega nian… “Mak, Dinda bukan anak Papa ya? Dinda cuma anak pungut ya, Mak? Kenapa, Mak? Kenapa Mama sejahat itu? Kenapa Mama membuang Dinda? Apa salah Dinda?” berondongku sambil mengguncang-guncang lengan Emak yang tidur di lantai kamarku. Emak mengucek-ucek matanya yang merah. Ia tampak masih setengah sadar. “Hah? Kenapa? Dinda kok nangis?” tanyanya kebingungan. “Mama kok jahat sekali sih, Mak? Apa salah Dinda?” tangisku pecah di pelukan Emak. Tenggelam di tengah suara gelak tawa yang semakin memekakkan telinga. 20 April Sekarang aku rajin salat. Aku nggak benci lagi pada Tuhan. Aku tahu Tuhan sayang padaku. Buktinya, walau Mama membuangku, Tuhan memberiku ganti seseorang yang begitu baik dan menyayangiku dengan tulus. “Nduk, Emak memang ndak pantes jadi mamamu. Emak ini kan jelek dan hitam Beda sama Dinda yang cantik. Tapi Emak sayang sama Dinda. Bagi Emak, Dinda adalah anak Emak,” kata Emak sehari setelah aku mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Sejak itu aku tak pernah mau jauh-jauh dari Emak. Apalagi setelah Papa semakin sibuk dengan pekerjaannya Emak memasukkan aku ke TPA di masjid tak jauh dari rumah. Aku belajar mengaji dan menghafalkan doa-doa. Hari pertama aku ikut mengaji, aku memakai baju rancangan Papa. Kata Pak Ustadz, itu bukanlah pakaian seorang Muslimah. Roknya terlalu pendek. Ciri khas perempuan jahiliyah. Pak Ustadz menyuruhku memakai pakaian seperti yang dipakai teman-teman TPA-ku yang perempuan. Aku meminta Papa merancangkan sebuah pakaian Muslimah. Tapi apa yang terjadi? Papa malah menggambarkan pakaian renang. Kata Papa, aku harus ikut kontes peragawati cilik minggu depan dan memakai pakaian itu. 27 Arpil Ya Allah, aku takut. Penontonnya banyak sekali. Dan aku harus bergaya di depan mereka. Tante Mia, teman Papa yang peragawati terkenal itu sudah mengajariku cara berjalan dan bergaya di atas panggung. Papa memberiku semangat ketika giliranku tiba. Tapi kakiku tiba-tiba sulit digerakkan. Aduh, kenapa begini? Jantungku jadi berdebar-debar dan perutku mulas tidak karuan. “Ayo, Dinda, kamu bisa!” seru Papa sambil mendorongku ke tengah panggung. Aku melangkah ragu-ragu. Semua mata terarah kepadaku. Tiba-tiba semua yang diajarkan Tante Mia hilang dari ingatanku. Aku cuma bisa menangis. Aku menangis keras-keras di tengah panggung. Aku jadi tontonan banyak orang. Kurasakan bedakku yang tebal luntur. Pipiku cemang-cemong belepotan lipstik. Untunglah Papa tidak marah. Tapi aku tahu Papa kecewa. Digendongnya aku menuju wastafel di belakang panggung. Dibersihkannya wajahku yang belepotan make-up tidak karuan. “Wah, wah, calon tambang emasnya mogok ya?” celetuk seorang peragawati kenalan Papa. Papa diam saja. Digandengnya aku yang masih sesenggukan ke dalam mobil. “Dinda mau ke mana sekarang?” tanya Papa lembut. “Dinda mau pulang saja, Pa,” ucapku pelan. “Dinda mau mengaji di masjid.” “Mengaji? Di masjid?” Aku mengangguk mantap. “Dinda nggak ingin jadi peragawati? Nggak mau jadi model? Dinda bisa terkenal. Banyak uang. Banyak penggemar.” Aku menggeleng. “Tante Mia kalo ngajarin Dinda jalan galak sekali. Dinda mau jadi qori’ah saja. Pak Ustadz yang ngajarin baca Al-Quran baik dan sabar.” Kulihat mata Papa berkaca-kaca. Papa tidak bicara lagi. Aku pikir Papa marah. Papa pasti kecewa dan menganggapku bandel. Kejadian selanjutnya sama sekali tidak kuduga. Papa membawaku ke sebuah toko pakaian yang besar. Ia membelikanku tiga stel busana Muslimah yang manis-manis, lengkap dengan kerudungnya. Semuanya pilihanku sendiri. Sore itu, untuk pertama kalinya aku pergi mengaji dengan busana Muslimah. Teman-teman memuji penampilanku. Katanya, aku tambah cantik dengan kerudung merah muda yang kupakai. 5 Mei “Papa…Papa, sedang apa, Pa?” “Hmm..sedang menggambar, Sayang.” “Gambar pakaian renang, ya?” “Hussh..ngawur! Lihat dulu dong.” “Waah…pakaian muslimah? Bagus sekali, Pa? Buat siapa ini, Pa? Hmm…, biar Dinda tebak. Buat calon istri Papa ya?” “Husshh…tambah ngawur…” “Hi…hi…hi…memangnya kenapa sih, Pa? Eh, Pa, Dinda boleh nanya nggak?” “Iya, Sayang. Dinda mau tanya apa?” “Mmm…kenapa sih Papa nggak menikah?” Papa menaikkan alisnya. Lalu tersenyum. “Eh, anak Papa kok tiba-tiba nanyanya masalah gituan?” “Emangnya kenapa, Pa? Eh, Pa. Tadi waktu di masjid, diem-diem Dinda nguping Pak Ustadz yang lagi ceramah di ruangan sebelah. Ngomongin soal nikah-nikah gitu. Dinda sih nggak terlalu ngerti. Yang Dinda ingat, Pak Ustadz itu bilang kalau nikah itu sunah Rasul. Maksudnya apa ya? Tapi kalau sunah, berarti kan berpahala ya, Pa?” Papa tertegun. “Kok Papa diem aja sih?” “Eh…iya, iya. Maksudnya apa ya, Din? Nanti deh Papa tanya sama Pak Ustadz itu. Siapa sih namanya?” “Papa sih…makanya, sekali-kali ke masjid dong, Pa. Jangan ke diskotik melulu. Nanti Dinda kenalin deh sama Pak Ustadz Burhan. Orangnya baik deh, Pa. Kadang-kadang dia juga ngajarin Dinda dan teman-teman ngaji. Suaranya bagus dan merdu.” “Iya deh. Habis Papa sibuk sih, Din.” “Papa belum jawab pertanyaan Dinda, nih. Ayo dong, Pa, jawab. Kenapa sih Papa nggak nikah?” Lagi-lagi Papa tertegun. Lalu menghela napas panjang. “Dinda…Dinda...rasanya belum saatnya Papa menjawabnya.” “Kenapa, Pa?” “Karena…karena Dinda tidak akan mengerti, Sayang. Tapi suatu saat, Dinda akan mengerti sendiri tanpa Papa ceritakan.” Aku menatap Papa dengan mata polosku. Bingung. “Tapi sebelum itu, Papa minta Dinda janji ya?” “Janji apa, Pa?” “Dinda harus janji, kalau suatu saat Dinda tahu jawabannya, Dinda akan tetap sayang sama Papa. Dinda nggak akan benci sama Papa…” “Papa ini aneh. Masa sih Dinda bisa benci sama Papa? Kata Pak Ustadz kan sesama makhluk Allah harus saling menyayangi…” “Wah, anak Papa sudah pinter ceramah ya sekarang,” Papa mencubit pipiku gemas. Lalu menggelitik pinggangku. Aku membalas menggelitik pinggang Papa. Sore ini aku begitu gembira. Tiba-tiba saja aku merasa, baru kali ini menemukan sosok seorang Papa dalam hidupku… *** 2000 Assalamualaikum, Dinda. Saat Dinda membaca surat ini, mungkin Papa sudah pergi jauh. Maafkan Papa ya, Sayang. Karena tidak sempat mengantarkan Dinda menuju gerbang kedewasaan. Namun Papa yakin, Dinda yang sekarang jauh lebih dewasa dari usia Dinda yang sebenarnya. Tidak salah Papa memilih Mak Minah sebagai pengasuhmu. Lima tahun yang lalu, Dinda pernah bertanya pada Papa kenapa Papa tidak menikah. Waktu itu Papa benar-benar bingung harus menjawab apa. Dinda masih terlalu polos untuk memahami apa yang Papa rasakan. Tapi justru pertanyaan itu yang membuka kesadaran Papa. Kesadaran untuk mencari tahu makna hidup yang sesungguhnya.w Dinda anak Papa, maafkan atas ketidaksempurnaan Papa. Tapi demi Allah, bukan kemauan Papa untuk menyerupai kaum Nabi Luth seperti yang diceritakan Ustadz Burhan itu (jangan kaget ya, Din. Sudah lima tahun ini diam-diam Papa berguru pada ustadz kesayangan Dinda itu). Papa sadar Papa tidak normal. Ini semua di luar kehendak Papa, Sayang. Tapi bukan berarti Papa tidak punya keinginan hidup normal seperti orang lain. Papa juga ingin punya keluarga. Punya istri yang mencintai Papa. Punya anak-anak yang lucu dan bisa menghibur di kala Papa sedang letih. Untuk Papa, menikah bukan jalan keluar yang baik. Karena itu hanya akan membuat istri Papa menderita. Dan Papa sendiri akan tersiksa jika memaksakan diri. Karena itu, Papa memutuskan untuk tidak menikah saja. Untuk mengobati kerinduan Papa akan kehadiran anak, Papa ingin mengadopsi seorang bayi. Dan dengan kuasa Allah, pilihan Papa jatuh pada Dinda. Waktu itu Dinda masih berwujud seorang bayi mungil yang cantik. Papa langsung jatuh cinta pertama kali melihat kamu, Sayang. Lebih-lebih setelah Papa mendengar cerita, bahwa Dinda adalah salah satu di antara berjuta-juta bayi di dunia ini yang kelahirannya tidak diharapkan oleh orang tuanya. Ternyata, lagi-lagi karena kuasa Allah, Papa tidak salah pilih. Dinda ibarat sekuntum melati yang tumbuh dan hidup di tanah yang gersang, namun tetap mampu menyebarkan keharuman yang menawan. Dinda Sayang, permata hati Papa. Pesan Papa yang terakhir, jangan pernah membenci mama kandungmu. Walau bagaimana beliau pernah mengandung dan melahirkan Dinda dengan susah payah. Dinda harus yakin, apa pun yang terjadi pada diri Dinda, adalah yang terbaik menurut Allah. Seperti Papa yakin bahwa semua yang terjadi pada diri Papa tidak lepas dari hikmah yang ingin Allah sampaikan pada kita. Tetap sebut nama Papa dalam doa-doamu ya, Sayang… Mataku memanas. Bait-bait tulisan di secarik kertas itu mengabur. Di ultahku yang kelima belas, Papa justru pergi. Direnggut penyakit ganas yang bersarang di tubuhnya. Aku pasrah. Walau sekarang aku cuma punya Emak. Ah, tidak. Aku juga punya Allah. Allah yang selalu sayang padaku, dan akan membantuku mewujudkan impian-impian Papa. “Dinda, Papa ingin punya rumah mode busana Muslimah. Lihat, nih. Papa sudah banyak merancang busana Muslimah. Nanti, Dinda bantu Papa menghias rumah mode Papa yang baru ya. Nanti kita beli lukisan kaligrafi untuk hiasan dindingnya…” Airmataku jatuh berderai. Mengenang saat-saat terakhir bersama Papa. “Dinda, jangan nangis lagi, Nduk. Emak jadi sedih,” lirih suara Emak menusuk-nusuk hatiku. Kurebahkan kepalaku di pangkuan Emak. Seperti biasa, tangan Emak yang kasar membelai-belai rambutku penuh kelembutan. Kutatap wajah tulus yang mulai keriput itu. Empat belas tahun perempuan ini mengasuh dan mendidikku. Betapa curahan kasihnya tak terbalaskan. Ya Allah, aku hidup di bawah naungan kasih sayang orang-orang asing. Orang-orang yang justru mampu menyayangiku dengan tulus di kala ibu kandungku sendiri tak mengharapkan kehadiranku. Subhanallah… Papa Tomi dan Emak Minah. Dua orang terkasih anugerah Allah. Dua orang terkasih yang namanya akan selalu kusebut dalam doa-doaku. Malang, 15 April 2002 Kado kecil untuk orang-orang terkasih